Waktu pertama kali mendengar berita Virus Corona di Wuhan, saya menatap berita di layar kaca dengan rasa prihatin. Terlebih banyak sekali video viral orang-orang berdesakan di rumah sakit meminta pertolongan. Semua minta ditangani segera. Para tenaga medis memakai Hazmat. Layaknya astronot. Fotogenic untuk layar kaca, tapi dalam kehidupan nyata pasti mencekam. Angka pasien merangkak ratusan lalu ribuan.
Terus terang, di rumah saya sudah jarang sekali menonton televisi. Televisi hanya dinyalakan saat suami nonton pertandingan basket, Oza sesekali menonton film, sisanya digunakan menonton kajian Youtube. Jadi, kalau ada berita yang akhirnya saya lihat dari berita tv, pasti ada sesuatu yang besar dan menarik minat.
Dan setelah beberapa hari hanya membaca berita dari whatsapp group, saya tertegun. Bergidik ngeri. Virus yang bermula dari China itu lalu merebak ke Jepang, dengan cepat merambat ke beberapa negara Asia lainnya.
Semula, saya melihat itu adalah berita yang hanya terjadi di luar negeri. Lalu keadaan menjadi meresahkan. Desakan dunia atas angka yang aneh di negeri ini lalu menguak sebuah kabar, Virus Corona sudah sampai Depok! Semua mata tertuju ke sana. Subhanallah… Corona sudah sampai ke Indonesia.
Tangsel – Depok, ini sungguh jarak yang amat dekat. Dan mulailah gelombang kehidupan berubah drastis. Simpang siur mulai dari soal social distancing, kampanye cuci tangan, protap ketat yang keluar di tempat umum. Lalu tak lama gonjang-ganjing lock down negeri ini disambut dengan kebijakan sekolah-sekolah diliburkan, kantor-kantor mempekerjakan karyawan dari rumah. Masjid-masjid mengumumkan penutupan sementara. Semua kembali ke rumah.
Di tengah kondisi itu harga masker merangkak naik, hand sanitizer dan sabun pencuci tangan langka, pasar-pasar sepi pembeli, para penjual makanan kehilangan pelanggan, jalan raya Jakarta yang biasanya padat menjadi lengang layaknya kondisi lebaran. Wajah-wajah lesu pengemudi ojek online terekam di mana-mana. Sekolah Anak-anak terhenti. Terdengar teriakan para ibu yang mungkin juga tidak siap dengan keadaan ini.
Rasanya, siapapun tidak ada yang siap dengan gelombang perubahan aktivitas besar yang terjadi beberapa waktu ini. Bukan hal yang mudah ketika rumah-rumah di jam tertentu tampak bernafas dari padatnya aktivitas, lalu tiba-tiba seolah lampu rumah harus menyala 24 jam.
School from home
Work from home
Learn from home
Pembelajaran Jarak Jauh
Apapun sebutannya, semua aktivitas berpusat di rumah.
Saya dengan dua anak saja merasakan kepadatan yang amat sangat. Di pagi hari ketika biasa saya bisa manfaatkan buat melakukan pekerjaan atau aktivitas lain, meeting sekejap di luar sambil sarapan atau makan siang, sekarang full membersamai anak-anak dan suami. Kebayang yang anaknya 3,4, 5 atau lebih, ditambah anggota keluarga lainnya. Kebayang yang di rumahnya tidak ruang khusus kerja ataupun tidak ada wifi.
Dari sarapan sampai makan malam
Dari adzan Subuh sampai adzan Isya
Lapak meja kerja saya tergeser.
Semua beradaptasi dengan pola baru.
Pasti awalnya berat. Tidak ada lagi akhir pekan keluar rumah. Tidak ada lagi makan di luar, kumpul-kumpul sama teman apalagi piknik.
Tapi, justru hal-hal itu membuat saya merenung bahwa ternyata manusia dikembalikan ke kebutuhan dasar yang sangat minimalis. Kebutuhan untuk berkumpul sama keluarganya yang mungkin selama ini alokasi waktunya adalah alokasi waktu sisa.
Di Sosmed, hampir saya temukan keluhan-keluhan dan rasa rindu orang-orang untuk bertemu dan keluar rumah. Maka, ketimbang saya pusing dan mengeluh, saya lebih memilih menikmati bagian-bagian kehidupan saat ini yang sangat layak saya syukuri. Semua bisa kumpul lengkap di rumah dalam keadaan sehat. Waktu keluarga bertambah, sepertinya buat orang kantoran, inilah kerja rasa cuti yang lama karena bisa membersamai keluarga. Di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja, suami saya Alhamdulillah masih Allah beri amanah produktif bekerja. Saya masih bisa melakukan hal lain yang dilakukan dari rumah, mengajar online, kajian online, dan banyak pekerjaan lainnya yang memang selama ini sudah terbiasa saya lakukan dengan online. Fabiaayi alaa irobbikuma tukadziban…
Kalau pun ada kekurangan-kekurangan yang terjadi di tengah ke- chaosan yang ada, sungguh nggak sebanding dengan nikmat yang didapatkan. Karena pemandangan keadaan di luar sana sungguh membuat hati pilu. Para pengemudi ojek online antri duduk termenung di trotoar menunggu pesanan datang, cerita tentang uang sekolah menjerit yang harus dibayar, tirai-tirai toko di pasar mendadak harus tutup, karyawan di rumahkan, semakin banyak orang yang menjual asetnya di tengah daya beli yang makin melemah. Semakin banyak WA orang ikhtiar berjualan dari A sampai Z untuk bertahan hidup. Kebutuhan pangan membengkak yang harus dipenuhi. Kebutuhan kuota pulsa sekolah anak yang tiba-tiba menjadi kebutuhan pokok keluarga. Sandang, pangan, papan, kuota…
Sementara itu, ketika kesulitan kita hari ini ada di seputar,
bosan di rumah,
kangen ketemu teman,
kangen makan di luar,
kangen piknik apalagi kangen travelling.
Maka mungkin, kali ini kita diminta untuk berhenti dan melihat sejenak kehidupan kiri dan kanan kita. Mungkin hikmah pandemi membuat semua orang untuk kembali ke rumah dan memaksimalkan setiap sudutnya sebagai spot ibadah.
Allahu a’lam…
NO COMMENT