Kajian bulanan tentang Islamic Parenting beberapa waktu lalu (2018) bersama Ustadz Bendri Jaisyurahman, menyisakan sebuah renungan kecil yang cukup mengganggu dalam pikiran saya.
Ketika kita membicarakan hebatnya sebuah generasi, sebenarnya kita juga sedang membahas sebuah prestasi dari seorang ibu. Karena sejak jaman Nabi hingga kini, peran ibu digambarkan dan diakui sangat besar dalam mencetak seorang anak dengan bibit unggul.
Ambil kisah Zaid Bin Tsabit, yang tidak akan pernah menjadi ‘sekretaris’ Rasulullah tanpa arahan ibunda tercinta yang sangat peka melihat potensinya. Kekecewaan Zaid bin Tsabit karena tidak bisa untuk ikut berjuang bersama Rasulullah di perang Badar tidak berlarut-larut karena usaha sang ibu yang berhasil menghiburnya dan mengarahkan potensinya untuk tetap bisa berjuang membela Islam, bukan dengan pedang tapi dengan pena.
Selanjutnya, kita tahu bahwa sejarah mencatat Zaid bin Tsabit sebagai penerima tanggung jawab mulia dan penuh berkah, menuliskan Wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah. Masya Allah, ya! Berkat siapa? selain karena izin Allah tentu karena kegigihan ibunya menunjukkan bakat anaknya dan sekaligus menempatkan di posisi yang tepat.
Mungkin ini hanya salah satu kisah, betapa dahsyat kekuatan intuisi dan keyakinan seorang ibu akan bakat dan kemampuan anaknya hingga akhirnya tercatat sejarah sebagai penerima tanggung jawab mulai yang penuh berkah, menuliskan wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah.
Di kisah lainnya, seorang Farukh At Taimi pergi meninggalkan istrinya untuk berperang dan berjihad. Sebelum pergi, ia menitipkan harta sebanyak 30 Ribu Dinar kepada istrinya. Setelah 30 tahun ia kembali dan ia mengira istrinya sudah punya suami baru karena ada seorang laki-laki dewasa yang ternyata adalah anaknya sendiri. Setelah melepas rindu dengan anak dan istrinya, ia menanyakan harta yang pernah ia titipkan. Istrinya sulit untuk menceritakan kemana habisnya harta yang dititipkan oleh suaminya.
Hingga keesokan harinya, suaminya menghadiri kajian di masjid Nabawi. Pagi itu kajian ramai sekali oleh para pencari ilmu, bahkan terlihat kalangan para ulama sekelas Imam Malik pun ikut menyimak. Saking ramainya Farukh tidak bisa melihat siapa yang memberikan ilmu di majelis itu hingga bertanyalah ia pada orang di sebelahnya.
Ulama itu adalah seorang Hafidz, ahli Fikih, ulama hadist terpandang di Madinah dan guru yang sangat dihormati. Ternyata ulama muda yang namanya harum karena ilmunya itu adalah Rabi’ah Ar Rayi bin Farrukh At Taimi, tak lain adalah anaknya sendiri yang telah lama ia tinggalkan.
Barulah ia menyadari betapa luhurnya ilmu anaknya hingga ia dicari banyak orang untuk dijadikan sumber ilmu. Kabar tersiar bahwa semua itu berkat keuletan dan kepiawaian ibunya mencarikan guru-guru dan tempat belajar terbaik hingga anaknya bisa menjadi ulama besar. Maka, meneteslah airmata Farrukh dan pahamlah ia bahwa harta yang ia tinggalkan telah digunakan dengan sangat baik oleh istrinya. Asetnya di dunia mungkin tidak bertambah lebih banyak, tapi tabungannya untuk akhirat ada pada anaknya yang tumbuh shaleh dan menjadi sumber ilmu masyarakat luas.
Lalu tiba-tiba pikiran saya loncat pada sejumlah ibu-ibu di jaman now yang hebat dan terkenal seantero sosmed karena anak-anaknya yang berprestasi. Ih, pasti bangga ya… padahal itu baru perkara ilmu dunia. Tapi media sudah mengekspose dengan hebatnya.
Penutup dalam majelis ilmu itu akhirnya membuat saya bertanya, kenapa dalam shirah sahabat Rasulullah, kisah para ibu hanya dikisahkan sekilas dan tidak detail? Padahal saya ingin mengambil ibrah dari para ibu yang mendorong lahirnya generasi hebat pada zaman itu.
Jawabannya sungguh membuat hati malu,
“Cerita para ibu mungkin tidak terlalu banyak diekspos karena para ibu adalah perempuan-perempuan penghuni langit. Mereka mungkin tidak terkenal di bumi tapi amal shalehnya terkenal di langit…”
*Backsound panci berjatuhan…
Jadi mau terkenal di mana Ibu-ibu? 😀
NO COMMENT