Kalahkan Dia Dengan…

Beberapa pekan ini sedikit lesu, banyak kejadian yang bikin merenung dan termenung.

Di tengah kabar duka yang bersliweran datanglah kabar duka dari Abah (tetangga dekat yang rumahnya nempel tembok rumah orangtua saya), yang meninggal karena Covid. Namanya Otjim Kosasih, salah satu orang yang sangat berjasa membangun lingkungan sekitar karena beliau adalah seorang guru dan bisa dibilang tokoh masyarakat setempat. Kenangan bermain di rumahnya sewaktu kecil bersama anak-anaknya tidak terlupakan. Beliau selalu menyapa dengan ramah setiap kali saya pulang ke rumah orangtua saya. Sahabat baik ayah saya yang sudah seperti keluarga sendiri. Bahkan, ketika saya menikah, beliau yang memberikan kata sambutan mewakili keluarga saya.

Jadi, patah hati sekali rasanya tidak bisa melepas kepergian beliau, tidak bisa takziah langsung layaknya melepas orang meninggal untuk terakhir kalinya. Hanya bisa menatap video kiriman ketika peti jenazahnya berangkat menuju pemakaman. Tidak akan lagi saya melihat wajahnya kalau besok-besok saya pulang ke rumah orangtua saya. Selamat jalan Abah, Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu…

Kemudian tetangga dekat di lingkungan ibu mertua yang juga meninggal karena Covid setelah beberapa hari dirawat. Dari video yang dikirimkan ke grup keluarga, pilu melihat pemandangan pasangan suami istri itu berpisah dengan cara yang menyedihkan. Sang istri yang masih positif dan masih dalam perawatan, harus rela melepas teman hidupnya dengan hanya menatap peti jenazah kekasih hatinya dari jauh, dari atas kursi roda dengan selang infus yang masih menempel di tangan, di depan pintu UGD sebuah RS.   

Peti jenazah berwarna putih itu hanya diantar oleh segelintir orang. Seorang perwira tinggi TNI AD, Mayor Jendral, yang biasa dilepas dengan upacara pemakaman militer yang megah, kini hanya bisa diantar oleh beberapa orang petugas pemakaman khusus dengan seragam APD putih. Covid 19 seolah mau memperlihatkan dengan jelas hakikat kematian. Kali ini dia seolah ‘memberi nasehat’ berulang kali dalam sehari, bahwa apapun jabatan, pangkat dan seberapapun besarnya harta, semua ‘diperlakukan’ sama saat pemakaman…

Beberapa teman dekat masuk rumah sakit juga, bahkan sampai kesulitan mencari kamar RS karena semua RS di Jakarta penuh. Kali ini, tidak ada lagi ‘jalur orang dalam’. Karena orang dalam sekalipun tidak mampu melakukan apapun di tengah kamar yang tidak lagi tersedia.

Subhanallah…

Di tengah aneka berita duka itu, tiba-tiba urusan domestik rumah lagi agak kacau. Dua bulan terakhir ini ada pergantian  ‘pemain’ dengan cepat dengan segala aneka dramanya. Alhasil, saya bolak-balik menemani orang baru buat rapid test dan mengajari mereka dari awal lagi. Buat saya yang biasa mendapat ART di rumah dengan durasi yang lama, lalu tiba-tiba kena drama begini di tengah pandemi, nggak ada yang bisa melegakan hati saya selain bilang “Qadarullahu wa ma syaa’a fa’ala…”

Di saat yang bersamaan, saya melihat beberapa teman sedang tumbuh menghebat. Ada yang lulus dari S2, ada yang berubah status jadi mahasiswa S3, ada yang lulus Doktor dengan hasil yang membanggakan. Dari sisi pekerjaan, ada yang dibajak perusahaan internasional, ada yang dipromosikan jadi pimpinan baru sebuah departemen, ada yang didapuk jadi staf khusus presiden, ada yang karya ilmiahnya tayang di jurnal internasional, ada yang bisnisnya makin menggurita dan seolah tidak mengenal masa pandemi, ada yang makin dikenal di dunia nyata dan maya, dan sederet prestasi lainnya yang jujur saja sebagai seorang manusia membuat mata saya takjub melihatnya.

Sampai tadi pagi saat kajian Riyadush Shalihin, Ustadz Nuzul Dzikri, saya mendengar kalimat yang seperti mencolek saya dengan keras. Kalimat yang sebenarnya sudah pernah saya dengar, tapi kali ini sungguh seperti diperdengarkan dengan toa di telinga saya yang kadang-kadang suka bocor kalau dikasih nasehat.

 “Kalau kamu merasa kalah urusan dunia, kejar dan kalahkan dengan urusan akhirat…”

Duh, mata saya memerah seketika.

Itu bukan nasehat Ustadz semata, tapi nasehat dari Al Hasan Al Basri. “Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.

Iya, ada kalanya saya yang imannya tipis ini takjub melihat urusan dunia orang lain. Apalagi namanya manusia, pasti ada ambisi-ambisi yang sebenarnya ingin dicapai. Ditambah melihat semua itu di kala hati lelah. Mungkin, di saat itu saya juga lelah karena ada beberapa pekerjaan penulisan yang tertunda karena keadaan beberapa pekan terakhir ini. Ada janji yang tidak tertunaikan. Dan karena ini berhubungan dengan pihak ketiga, jadi membuat saya kepikiran terus.

Sore itu, nggak sengaja WA dengan salah satu sahabat baik saya. Awalnya urusan muamalah, tiba-tiba saya curhat setitik dan beliau mengirimkan kalimat yang nyambung dengan kalimat yang tadi pagi saya dengar.

Labbaik, Innal ‘Aisya ‘Aisyul Aakhiroh.

Saya baca ulang kalimat itu dengan lirih dan tidak terasa langsung menetes airmata. Airmata haru. Jazakillah Khayran, hey kamu…

Allah ingatkan saya untuk mengejar ketertinggalan urusan dunia saya dengan mengejar perkara akhirat. Walaupun sungguh, untuk mengejar urusan akhiratpun saya masih tertatih dan tentu saya tidak akan mampu menyaingi para ahli ilmu dan ahli ibadah. Tapi saya lega, nggak berlama-lama mata dan hati ini dibiarkan silau menatap urusan dunia.

Dan memang sejujurnya, beberapa tahun belakangan ini saya lebih takjub melihat teman-teman yang menghebat untuk urusan akhiratnya. Rajin mengkaji ilmu agama, menghebatkan anak-anaknya menuju jalan akhirat, bacaan dan hapalan Qur’annya melesat, bisa menjaga anak-anak dan keluarganya untuk mendahulukan perkara akhirat dan memperlihatkan bahwa dunia sungguh hanya diletakkan begitu saja di tangannya, bukan di hatinya.  Hura-hura dalam menginfaqkan hartanya, boros dalam menginfaqkan waktu dan tenaganya untuk perkara akhirat dan sederet aktivitas fastabiqul khairat yang disediakan luas untuk digarap tanpa terdengar riuh langkahnya.

Di jalan ini memang kadang tidak ada lampu sorot, jalan yang seringkali tidak terlihat mata, tidak terdengar bisingnya, karena di jalan ini semua seolah khusyuk ‘mengalahkan orang lain’ dengan bersegera melakukan amal shaleh di tengah waktu yang sempit. Iya, waktu yang semakin hari bergerak cepat, sementara bekal masih kurang untuk sebuah perjalanan nan panjang…

Masya Allah. Terima Kasih ya Allah atas pengingat hari ini. Salah satu hidayah dan nikmat yang sungguh amat terasa. Tidak Engkau biarkan aku berlama-lama untuk gundah, menatap silau dan megahnya dunia…

اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

[Ya Allah, tolonglah aku agar selalu berdzikir/mengingat-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu].” (HR. Abu Daud dan Ahmad, shahih)


  1. Uchie

    15 January

    Mbaaaa, hiks hiks langsung panas mata ini begitu selesai sampai kalimat terakhir. Langsung mak jleb 😢 sepertinya hampir semua dari kita saat ini sedang merasakan hal yang sama. Jazakillah Khayran untuk tulisannya, ilmunya🙏
    Salam sehat, bahagia untuk mba Ade & keluarga❤️❤️🤗🤗

    • Adenita

      17 January

      Huhu iya Mbak Uchie. Pandemi sudah hampir setahun dan kita semua bertahan dengan cara masing-masing ya. Saling menguatkan ya, Mbak… Semoga Allah anugerahi juga bahagia dan sehat buat Mbak Uchie dan keluarga. Wajazakillah Khayran, senang dimampiri ‘di rumah baru rasa lama’ 🙂 *Hug

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

INSTAGRAM
https://www.instagram.com/adenits/