Aku terpana menatap layar kaca. Sebuah pemandangan yang tidak biasa di Wuhan, Cina. Orang-orang berdesakan di rumah sakit meminta pertolongan. Angka pasien ratusan merangkak mencapai ribuan. Bukan, ini bukan kenaikan harga saham. Ini kenaikan jumlah korban virus bernama Corona.
Aku terpana menatap dunia. Virus Corona di Cina seolah berhembus dengan cepat ke seluruh penjuru Asia. Aku mengira, Corona bukan kisah nyata. Pandemi hanya terjadi di luar negeri. Tapi aku salah, virus itu seolah datang bergerilya melewati pintu gerbang negeri ini. Dan pertahanan pun bobol. Subhanallah, Corona telah datang menghadang, lebih ngeri dari banjir bandang.
Aku terpana di sudut kota. Ketika dunia terlalu hiruk pikuk, Corona seperti orang yang mengeluarkan jurus pukulan maut dengan gerakan yang tidak terlihat mata. Seketika, huru hara dunia diperlihatkan dengan nyata di depan mata. Wabah telah memaksa semua orang harus kembali ke rumah, tak terkecuali para pecinta masjid. Adzan panggilan shalat 5 waktu, hanya menjadi sebuah penanda waktu atau panggilan rindu. Para pemburu ilmu tergugu kehilangan nikmat bertemu para guru.
Seketika dunia tampak kacau. Kantor-kantor megah itu harus dikosongkan dan penghuninya terpaksa bekerja dari rumah. Lupakan paduan kemeja-kemeja kerja yang licin dengan harum parfum yang kadang membuat kagum. Lupakan memadu padankan setelan kerja, warna jilbab dengan sepatu, karena kini semua itu tidak berlaku. Rutinitas pagi dengan teriakan anak-anak mencari seragam, menunggu sarapan, menunggu jemputan sekolah, semua terhenti.
Hiruk pikuknya pusat keramaian seolah dibungkam paksa untuk diam. Para pengemudi ojek online yang biasa diburu pesanan, kini lebih banyak duduk menunggu. Sekolah diliburkan. Para guru dan orangtua seolah gagap ketika harus bertukar peran. Sebagian tangan sulit mempertahankan lembaran-lembaran rupiah dalam genggaman.
Aku terpana di sudut jendela.
Sungguh tak akan mampu melihat kekacauan yang terjadi ini dengan kacamata dunia. Sungguh tak akan sampai hati melihat negeri dilanda pandemi. Aku letakkan kacamata dunia dalam melihat Corona.
Perlahan aku raih kacamata iman.
Dan, sungguh aku melihat pemandangan yang menakjubkan dari keadaan seorang mukmin. Semua urusan yang kacau terlihat baik. Seolah diingatkan, bahwa kemarin aku telah banyak diberikan kesempatan bersyukur. Maka, kali ini adalah episode bersabar. Keduanya baik.
Banyak amalan fisik yang tidak bisa dilakukan, tapi Allah sungguh memberikan ladang amalan hati yang begitu luas. Corona telah membawa rumah-rumah yang cahayanya temaram kembali hangat tenteram. Ia telah menghadirkan ‘cuti bersama’ yang dinantikan sebagian keluarga sibuk dalam bentuk lain. Kebersamaan keluarga terpanjang. Kesempatan belajar 24 jam bagi para pemburu ilmu dengan ‘menghadirkan’ guru-guru hebat di rumah secara ekslusif. Masa-masa sulit justru memperlihatkan ladang amal dan kesempatan untuk bersedekah.
Aku genggam kuat kacamata imanku.
Sungguh aku butuh kuatnya Imun dan Iman dalam menghadapi Corona. Tak akan mampu aku bersabar untuk di rumah saja sepanjang ini tanpa ganjaran indah dari Allah. Dan cukuplah sepotong hadist ini menjadi obat penguat imun dan imanku dalam menghadapi Corona…
“Siapa yang menghadapi wabah lalu dia bersabar dengan tinggal di dalam rumahnya seraya bersabar dan ikhlas sedangkan dia mengetahui tidak akan menimpanya kecuali apa yang telah ditetapkan Allah kepadanya, maka ia mendapat pahala seperti pahala orang yang mati syahid.” (H.R Bukhari).
Tulisan ini dibuat 13 September 2020 dalam rangka ingin ikut setor tulisan pendek tentang Corona ke badan dakwah seorang Ustadz. Qadarullah tidak terpilih (ya yalah, yang lain persiapannya matang, yang ini cuma bikin 3 hari 😀 ) Jadi, buat kenang-kenangan di upload di sini saja 🙂
Lulu
14 March
Tp ai loveee…. corona mengajarkan tauhid. Tauhidku digempur abis2an.. miss u bunda 2O 🥰
Adenita
18 April
Masya Allah… dibalik musibah selalu ada hikmah yaa, Miss you too mbak Luluuuu :*