READING

Membangun ‘Theatre of Mind’ Ramadhan

Membangun ‘Theatre of Mind’ Ramadhan

Waktu baru pertama nyemplung kerja siaran di radio, bolak-balik para senior mengajarkan bahwa seorang penyiar radio harus bisa membangun theatre of mind para pendengarnya. Istilah baru bagi saya kala itu. Kira-kira terjemahan bebasnya adalah membangun panggung pikiran yang bisa membuat pendengar berimajinasi dengan kata-kata yang disampaikan oleh penyiar meski tidak ada gambar atau video.

Hebatnya, kata-kata yang disampaikan oleh seorang penyiar yang berhasil membangun theatre of mind akan menghasilkan imajinasi yang berbeda bagi setiap pendengarnya. Misal, ketika membicarakan lezatnya menu masakan favorit di sebuah restoran ternama. Bagi yang belum pernah mencobanya akan menimbulkan rasa penasaran, bagi yang pernah mencobanya akan menimbulkan rasa rindu ingin kembali mengulang sensasinya.

Kala itu dalam evaluasi siaran, saya sering sekali dianggap gagal menciptakan theatre of mind ketika harus menyampaikan sebuah tempat makan mewah atau sebuah tempat di luar negeri. Isinya datar dan tidak menarik. Alasan saya kala itu, karena saya belum pernah ke sana, jadi saya tidak terbayang seperti apa gambarannya.

Tapi ternyata alasan itu tidak diterima. Karena menurut para senior di bidang itu, saya bisa melakukan riset dengan baca, dengar pendapat orang-orang atau bertanya. Lalu saya diperdengarkan contoh-contoh para penyiar hebat yang menyampaikan iklan atau informasi-informasi yang jadi terdengar keren dan memukau. Mereka mampu menyampaikan informasi sebuah tempat di dalam maupun luar negeri meskipun mereka pun belum pernah mengunjunginya. Mereka mampu membuat detail informasi dan sukses menciptakan theatre of mind di benak pendengarnya, yang menggerakkan pendengarnya untuk mencari tahu lebih dalam dan bahkan ingin berkunjung ke tempat tujuan itu.

Kuncinya riset. Ilmu.

Lima belas tahun berlalu…

Ilmu tentang theatre of mind itu meninggalkan kesan tersendiri bagi saya. Terutama saat saya mulai belajar lagi soal agama.  Dengan berusaha menciptakan theatre of mind tentang akhirat, ternyata membuat efek yang dahsyat pada tujuan dan langkah hidup saya.

Kali ini, saya tidak mau gagal. Karena kegagalan membangun theatre of mind tentang kehidupan akhirat yang jelas lebih pasti, akan menjadi petaka buat hidup saya. Jika untuk urusan pekerjaan dunia yang sebentar ini saja, saya rela mau riset dan mempelajarinya, lalu kenapa untuk persiapan bekal akhirat yang lebih pasti saya tidak melakukan usaha yang sama?

Sulit untuk membayangkan tentang akhirat kalau tidak ada ilmunya. Sulit untuk membayangkan kekacauan yang terjadi di hari Kiamat nanti kalau tidak pernah mencari tahu detail perkara ini apalagi mengkajinya. Tidak akan mampu membayangkan gemetarnya tubuh ketika mendengar cerita tentang Padang Mahsyar, ketika matahari berada begitu begitu dekat dan bahkan membuat manusia tenggelam dengan keringatnya. Tidak akan mampu bertahan untuk berjuang memperbaiki diri dan bersemangat mengumpulkan amal shaleh kalau tidak terbayang betapa panjangnya perjalanan akhirat nanti.

Terngiang nasehat guru saya, ketika kajian-kajian agama sudah sebegitu dahsyatnya ada di mana-mana, jangan sampai kufur tidak memanfaatkan nikmat ini. Jangan sampai gagal menghadirkan rasa syukur akan rahmat dan pertolongan Allah, akibat malas mencari ilmu. Terlebih, jangan sampai gagal menghadirkan rasa bahagia ketika bertemu kembali di Ramadhan. Para ulama terdahulu bilang, jangan sampai ramadhan hanya rutinitas karena seringnya kita bertemu.

MEMBANGUN THEATRE OF MIND RAMADHAN

Ramadhan itu bulan pelipur lara bagi para pendosa dan pengejar ampunan. Bulan kasih sayang dari Allah karena berserakan rahmat dan keberkahan-Nya. Guru saya kerap mengingatkan, jangan memasuki Ramadhan dengan mengandalkan pengalaman. Karena pengalaman Ramadhan tahun lalu dengan tahun ini bisa jadi berbeda jauh. Selalu niatkan, untuk menjadikan Ramadhan tahun ini lebih baik dari Ramadhan sebelumnya.

Tanpa ilmu, tidak akan mampu menciptakan imajinasi bahwa istimewanya ibadah di bulan dengan segala ‘gimmick’ pahalanya yang melimpah ruah.

Tidak akan bersemangat masuk di Ramadhan yang seperti masuk kelas akselerasi, karena semua amal ibadah dilipat gandakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

Tidak akan bisa mengeluarkan potensi dan energi besar untuk bisa mengkhatamkan Al-Quran di bulan ini, sedekah dengan jor-joran dan berjuang habis-habisan untuk ibadah di 10 malam terakhir Ramadhan, kalau tidak tahu kelezatan ganjarannya yang lebih baik dari pada beribadah 1000 bulan atau selama 83 tahun 4 bulan (yang belum tentu usia kita sampai di umur itu).

Jadi, membangun theatre of mind Ramadhan itu sungguh membutuhkan ilmu. Agar mata hati kita jangan sampai lolos menangkap perbedaan antara bulan istimewa ini dan bulan-bulan lainnya. Jangan sampai perbedaan yang terlihat hanyalah karena dekorasi Ramadhan di pusat perbelanjaan, iklan di televisi ataupun maraknya kehadiran iklan sirup dan kue kaleng, lalu bulan ini berlalu begitu saja…

Ini beberapa tautan kajian pendek favorit saya yang mungkin bisa membantu membangun theatre of mind istimewanya Ramadhan. Saya simpan di sini agar menjadi menjadi penyemangat dan jangan sampai kita hanya melewatkan bulan istimewa ini seperti bulan-bulan lainnya…

Ramadhan antara kemudahan dan kegagalan

Tragis di Ramadhan

Ramadhan Terakhir Kita

Malam-malam Istimewa

Kalau ini, salah satu kajian panjang yang cukup membakar semangat. Pengingat diri yang kadang masih suka lalai dan terjatuh gagal di hari-hari Ramadhan yang tidak akan terulang.

Semoga dengan ilmu, Allah berikan pertolongan pada kita untuk bisa mendapatkan kemudahan menjalankan ibadah di bulan mulia ini.

Allahualam Bissawab…

6 Ramadhan,

Adenita


Your email address will not be published. Required fields are marked *

By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

INSTAGRAM
https://www.instagram.com/adenits/