READING

Mengejar ‘Malam Ampunan’ di Tempat Imp...

Mengejar ‘Malam Ampunan’ di Tempat Impian.

(Suasana 18 Ramadhan 1442 H. Foto diambil dari Instagram @haramain_info ).

Tahun kedua pandemi di bulan Ramadhan ini menyesakkan dada sekali. Melihat tayangan di TV Mekah setiap malam, mata rasanya panas. Iri (ghibtah) melihat orang yang tengah bertawaf dengan berjarak, lengang dan serasa area Ka’bah lapang sekali untuk berdo’a. Sungguh hanya orang-orang pilihan Allah yang tetap bisa berumrah di bulan Ramadhan di masa pandemi ini, Masya Allah…

Tentang umrah di Ramadhan, itu menjadi cita-cita keluarga sekali, terutama sepulangnya kami dari kajian Ustadz Nuzul Dzikri di Masjid Nurul Iman yang kala itu tengah membahas bulan Sya’ban tapi sekaligus pemanasan menyambut bulan Ramadhan. (Lihat selengkapnya kajian “Bulan Sya’ban di Anak Tirikan”).

Lalu pas sesi tanya jawab, ada sebuah cerita yang menggugah iman tentang keutamaan umrah di Ramadhan. Diceritakan ada orang yang sengaja menghemat cuti kantornya, sebisa mungkin walau sakit tetap masuk, cuti lebaran nggak dia pakai, musim liburan juga nggak dia pakai. Orang-orang liburan keluar negeri ke tempat-tempat keren di dunia dia nggak tergiur walau mampu. Ternyata tabungan harta dan cuti itu disimpan untuk dipakai umrah Ramadhan di 10 hari terakhir, Itikaf di Masjidil Haram. Bahkan ada yang ekstrim, ketika mau cuti Ramadhan nggak diizinkan kantornya, dia ikhlas memilih resign, karena yang ada dalam benaknya adalah rezeki bisa dicari tapi momen meraih keutamaan pahala umrah di Ramadhan hanya bisa bisa saat itu saat dia mampu. Seperti berhaji bersama Rasulullah, aduh siapa yang nggak ngiler ya mendengarnya… huhu merinding banget mendengar cerita-cerita seperti ini. Rasanya ikut terbakar semangat. Lalu malu melihat diri sendiri, Ramadhan masih disibukkan sama perkara-perkara dunia. Sementara langkah dan harapan orang-orang shaleh begitu visioner dalam berlari mengejar akhirat.

Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan seperti berhaji bersamaku” (HR. Bukhari)

Pulang kajian itu, kami sungguh meniatkan diri, memohon sama Allah agar Allah kasih kami rezeki bisa merasakan umrah di bulan Ramadhan, bahkan ingin sekali merasakan nikmatnya Itikaf di Masjidil Haram.

Lalu kami teringat  cerita Uwa di Subang, yang kalau Ramadhan menjelang dia ‘menghilang’, nggak ada di kampungnya. Biasanya untuk kunjungan lebaran di hari ke-3 atau ke-4 Syawal, si Teteh harus bertanya dulu “apakah Uwa sudah di rumah?”

Dulu ketika saya mendengar Uwa baru kembali umrah Ramadhan, cuma takjub aja, sebatas ingin. Tapi beberapa tahun terakhir, kunjungan ini kerap saya nantikan. Karena saya selalu antusias mendengar cerita Uwa sekeluarga yang berangkat umrah di awal Ramadhan sampai memperpanjang waktu umrahnya hingga Itikaf di sana. Dan itu bukan rutinitas Ramadhan beberapa tahun terakhir saja, tapi hampir setiap tahun dan sudah berlangsungcukup lama, Masya Allah!

Tajir banget? Nggak juga. Uwa Asep memang bekerja sebagai pembimbing umrah dan ada beberapa usaha kecil yang dijalankan di kampungnya, Ciater. Istrinya usaha klinik dan apotek kecil sekitar Ciater, yang sering menjadi tujuan warga untuk berobat atau jika terjadi kecelakaan lalu lintas sekitar sana. Sisanya yang saya tahu, waktu yang Uwa Asep miliki dipakai untuk membantu masyarakat setempat di sekitar rumahnya. Beliau punya beberapa vila kecil, tapi seringnya dipakai menginap keluarga yang ke sana, jadi bukan pemasukan rutin juga. Tapi di area villa itu Uwa dan istrinya setiap pagi mengumpulkan anak-anak setempat untuk mengaji. Keperluan hidup secukupnya tidak berlebihan.

Memang kalau pakai logika, pekerjaan Uwa sebagai pembimbing umrah, memudahkan segala niatnya untuk berumrah di Ramadhan. Dan beliau tentu mensiasati dan berstrategi agar dalam setahun jadwal keberangkatannya, ada satu jadwal yang bisa berangkat umrah di Ramadhan bersama sekeluarga. Tapi apakah lantas bisa semudah itu? Tentu hanya atas izin Allah semua rencana itu bisa terjadi, rutin berangkat umrah bersama istri dan anak-anaknya di Ramadhan. Itikaf di 10 malam terakhir di Masjdil Haram seolah menjadi agenda ‘liburan tahunan’. Masya Allah, hati ini iri seiri-irinya, untung iri pada orang yang beramal shaleh diperbolehkan yaaaa…

Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.”

(H.R Bukhari)

Ada rindu yang menggebu-gebu ingin merasakan pengalaman itu kelak. Ternyata di tengah hati menggebu ini, semakin banyak saya dan suami mendapati kisah-kisah orang yang semacam Uwa Asep ini.

Suatu hari, suami pulang dari masjid bercerita lagi tentang tetangga kami, seorang pedagang di Tanah Abang yang memang agenda tahunannya itu itikaf di Masjidil Haram. Saat orang lain kejar setoran di Ramadhan dan toko sedang ramai-ramainya, dia berangkat di pertengahan Ramadhan agar bisa beritikaf di sana. Tokonya ditutup. Ramadhan waktunya ‘berdagang’ sama Allah. Masya Allah…

Saat itu menjelang Ramadhan, diam-diam saya menyimpan brosur-brosur dari travel umrah dan melihat-lihat jadwal keberangkatan Umrah Ramadhan. Harganya memang dahsyat, 2 kali lipat dari harga biasa dan pemesanannya pun harus jauh-jauh hari karena rebutan. Pantas saja, ini waktu prime time

Alkisah, di pekan pertama Ramadhan di beberapa grup WA, ada info seat umrah Ramadhan tersisa dari beberapa travel yang dilelang. Harganya nggak terlalu semahal harga tiket umrah Ramadhan pada umumnya. Iseng saya forward Agung.

“Berangkat kita?”

Di jawab Agung, “Itu benar harganya segitu. Coba cari infonya Bun…”

Masya Allah, bercandaan saya koq direspon serius ya? saya gercep langsung cari infonya. Entah kenapa padahal cuma pengin nanya-nanya aja tapi senaaaaaaaang banget rasanya menghubungi travel umrah di saat-saat itu… ho’oh receh banget ya, orangnya gampang bahagia haha… 😀

Sampai kemudian, ada seorang teman yang bekerja di travel umrah menawarkan jadwal terbaik yang cocok. Setelah otak-atik jadwal kantor Agung, itu tanggal paling pas. Mendarat di Jeddah dan langsung ke Mekah di 9 hari terakhir Ramadhan, setelahnya baru ke Madinah, kembali ke Tanah Air pada 5 Syawal yang saat itu masih di waktu cuti bersama lebaran.

Kala itu, Agung masih punya sisa cuti. Tapi, ini adalah tahun pertama kami lepas dari riba KPR, jadi bisa dibilang nggak punya tabungan yang berlebih. Lalu, Agung tanya : “Kamu ikhlas nggak kalau cuma aku yang berangkat? Ya selain itu memang uangnya cuma cukup buat satu tiket sih hehe”

Yaaaaaa secara waktu itu saya juga masih menyusui Olea yang baru 7 bulan, jadi pertanyaan ini retoris sekali sebenarnya yaa sodara-sodara hahaha… meski teman saya menawarkan, kalau saya harus ikut, itu tiket bayi dikasih gratis dan untuk Oza akan dikasih setengah harga. Aduh ya, ngiler banget mendengarnya. Tapi kembali ke realita, hanya bisa beli 1 tiket.

Sungguhpun saya ingin, tapi saya ikhlas melepas Agung yang lebih dulu berangkat umrah dan itikaf Ramadhan. Dengan niat, kami harus memulai niat baik mengikuti ‘kebiasaan’ orang-orang shaleh di bulan Ramadhan. Semoga ghirah mengejar malam 1000 bulan sampai ke Masjidil Haram bisa menjadi sebuah ‘tujuan liburan keluarga’yang akan selalu dinanti.

Hanya dengan pertolongan Allah, semua prosesnya dipermudah. Asli, saya senang banget ikut mempersiapkan keberangkatan Agung. Semacam ada keinginan yang terwakili. Bagia paling menyenangkan adalah saat diminta menyiapkan do’a-do’a dari Al-quran untuk dibaca di sana. Saya print dan laminasi sendiri. Sengaja saya bikin kecil dengan ‘ring’ agar mudah dibawa dan dibaca dimanapun.

Waktu Agung berangkat, setiap hari ketika saya memutar Live TV Mekah, saya melihat dengan perasaan beda. Dengan semangat, saya selalu bilang sama anak-anak ada ayahnya diantara kerumumunan orang-orang yang tawaf. Dan mereka dadah-dadah aja dong di depan TV, haha… receh tapi rasanya ada kebahagiaan tersendiri.

Kala itu, saya yang ditinggalkan di sini juga merasakan semangat yang luar biasa di akhir Ramadhan. Terlebih, saya diizinkan itikaf di masjid raya Kebayoran Residence yang saat itu membuka pendaftaran itikaf dan boleh membawa anak-anak. Berbekal sedikit pengalaman itikaf di beberapa tahun sebelumnya dan banyak Ibu-ibu yang saya kenal, saya berani membawa Oza dan Olea. Jadi, ketika di sana Agung itikaf bersama pak Nurman tetangga kami, saya di sini itikaf bersama mbak Chika, istrinya pak Nurman dan anak-anaknya. Jadi, seru banget… anak-anak dapet vibesnya. Kita sama-sama itikaf, cuma beda tempat… :’)

Setiap hari, saya dikirimi video suasana di sana menjelang buka puasa, suasana lapaknya, kegiatannya, dan cerita-cerita seru seputar itikaf bersama jamaah Indonesia termasuk si tetangga saya yang pedagang tanah Abang itu yang banyak membantu suami saya memberikan tips & trik selama itikaf di 10 malam terakhir di Masjidil Haram. Masya Allah…

Suasana jelang buka puasa

Semoga Allah jaga niat saya, apa yang saya ceritakan ini sungguh karena saya merasa terbakar semangatnya orang-orang dalam mengejar waktu terbaik untuk berdo’a dan mencari pahala yang berlipat-lipat dalam membelanjakan  hartanya di jalan Allah. Dan saya pun ingin menularkan semangat ini pada teman-teman, bahwa ‘impian liburan ini’ layak untuk diperjuangkan, meski mungkin kita bukan berasal dari kalangan ‘crazy rich’. Karena tujuan ‘liburan Ramadhan’ ini beda sekali dengan tujuan liburan negara lainnya, percayalah sekaya apapun orang kalau tanpa izin Allah, tidak akan bisa sampai di sini.

Sebaliknya, orang yang mungkin nggak mampu tapi jika Allah izinkan, maka bisa dengan mudah ke sini. Jadi setelah ikhtiar, mohonkan terus pertolongan Allah. Tonton deh video pendek kajian ini biar bisa merasakan dahsyatnya keutamaan umrah di Ramadhan, sangat layak untuk diperjuangkan sekali seumur hidup…

Sungguh saya merindukan kelak saya bisa mencicipi kenikmatan dan kelezatan ibadah di 10 malam terakhir di tempat yang mulia ini, bersama suami dan anak-anak.  Semoga Allah berikan saya usia dan ijabah doa dan ikhtiar saya agar terwujud entah di Ramadhan yang mana… Amiiin ya Mujibassailin

Oiya, ini video yang diambil Agung, di tengah suasana tawaf Ba’da Ashar di hari terakhir Ramadhan di tahun 2019. Masih saya simpan karena saya senang sekali melihatnya, selalu sukses membangkitkan semangat saya untuk bisa ada di tengah-tengah lautan manusia di sana.

Dua tahun sudah berlalu sejak pengalaman perdana Agung itikaf Ramadhan di Masjidil Haram. Setiap kali bertemu mau Ramadhan, saya jadi suka deg-degan, akankah Allah kasih saya kesempatan yang sama buat saya di Ramadhan kali ini ?

Qadarullah, tahun lalu pas awal pandemi dan tidak ada keberangkatan umrah. Tahun ini juga kisahnya masih sama. Tapi saya tahu, skenario Allah tidak pernah salah. Mungkin Allah kasih kesempatan saya bertemu pandemi ini untuk  memampukan diri, baik harta maupun ilmu. Dan yang paling penting, memperbaiki diri dalam melakukan persiapan menyambut Ramadhan, untuk menajamkan amalan-amalan hati…

Video kiriman Agung 2 tahun lalu jelang shalat Eid di Masjidil Haram ini sengaja saya simpan di Youtube, bukan apa-apa sih, memori hp saya penuh tapi saya ingin sekali menyimpan dengan aman dan bisa saya akses setiap saat :D. Waktu saya dikirimin ini, kami sekeluarga besar menonton sambil berkumpul di hari lebaran Meski anggota keluarga di hari lebaran jadi tidak lengkap, tapi saya nggak merasa sedih, karena ada rasa bahagia. Biidznillah, ‘kebiasaan baik’ ini bisa diteruskan oleh anak-anak kelak atau keluarga lainnya. Dan sambil makan ketupat dengan penuh haru kami mengaminkan segala do’a yang disampaikan Agung dari tempat impian :’)

Meski saat ini masih pandemi, tapi Itikaf Ramadhan di Masjidil Haram tetap menjadi salah satu impian dan do’a saya. Saya yakin insya Allah akan dikabulkan, di waktu yang tepat menurut Allah, Allahu a’alam…

Dan menonton video ini, sungguh membuat rindu makin meluap-luap. Semoga Allah mampukan kita bisa kembali meramaikan  Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Amiin ya Mujibassailin…


Your email address will not be published. Required fields are marked *

By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

INSTAGRAM
https://www.instagram.com/adenits/