Hikmah Nyasar

Hampir dua tahun lalu, ada sebuah kejadian nyasar yang benar-benar bikin saya termenung dan selalu merinding setiap saya ingat itu. Diantara kejadian nyasar lainnya, entah kenapa kejadian nyasar ini berkesan dan ibrahnya sangat besar bagi diri saya.

Sebelumya, saya sangat mengapresiasi dan salut pada semua orang yang punya kemampuan navigasi yang bagus, bisa membaca peta dan petunjuk arah, juga bisa membaca arah mata angin. Bisa menemukan jalan keluar di tengah tempat yang buta hanya mengandalkan peta atau arah mata angin. Sungkem dulu deh yaaaa…

Dua ratus meter belok ke arah Barat

Lima ratus meter lalu belok kiri, nanti ketemu rumahnya yang menghadap Timur

Di kepala saya kalimat itu rasanya gelap. Suami saya sering bolak-balik menerangkan soal navigasi, dari mulai menerangkan santai penuh tawa, sampai wajahnya gemas dan kesal, saya hanya bisa menjawab sambil nebak-nebak tapi lalu besoknya saya akan sulit lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar itu. Sepertinya, suami saya sebagai anak tehnik punya beban moral yang cukup tinggi, kalau nggak bisa mengajarkan navigasi istrinya hahaa… selama nikah, berkat pertolongan Allah dan usaha suami yang tidak kenal lelah (eh, kayanya sih sudah lelah ya? :D) lumayanlah saya ada kemajuan bisa mengestimasi jarak dengan lebih akurat…  *nyengir

Saya memang lebih bisa mengandalkan situasi wilayah setempat untuk mengingat rute sebuah tempat. Misal, nanti akan ada kantor kecamatan warnanya hijau, lalu belok kanan.

Gang ke-4 lalu ada kios, rumahnya menghadap masjid.

Ada toko laundry lalu sekitar 100 meter, tempatnya sebelah kanan jalan.

Pas keluar tol, lurus terus, naik fly over, sampai ketemu salon masih maju lagi sekitar 200 meter lalu belok kiri.

Petunjuk seperti ini lebih jelas bagi saya daripada kalimat-kalimat navigasi pada umumnya. Tapi tentu hal itu hanya bisa terjadi kalau ketemu orang yang sudah hapal wilayah. Nah, kalau belum pernah ke sana? Kalau baru pertama kali lewat sebuah jalan? Kalau harus menempuh rute alternatif yang belum pernah dilalui? Kalau tersesat di jalan? Maka andalannya adalah peta atau petunjuk arah.

Sesungguhnya Google Maps adalah sebuah kemudahan yang sangat bermanfaat. Tinggal klik tujuan dan ikuti petunjuknya, lalu selesai. Tapiiiii, kehidupan memang kadang tidak seindah itu.  

Sekali lagi, buat yang punya keterbatasan membaca peta, lalu saat membuka Aplikasi patuh saja pada petunjuknya dan ditelan mentah-mentah rute jalan yang disodorkan, akan punya dua kemungkinan. Sampai sesuai tujuan dan sesuai harapan. Atau sampai di tujuan dengan estimasi waktu yang lebih panjang karena… nyasar!

Dan, dengan sangat menyesal dan penuh rasa malu, kenyataan membuktikan saya masuk kategori yang kedua itu *tutup mata pake masker 3 lapis :D.

Demikian juga soal Gmaps yang kadang-kadang niatnya baik untuk kasih rute berdasarkan rute tercepat versinya, tapi niat baik itu ternyata jadi prahara bagi orang yang lemah baca peta kaya saya. Biasanya akan melewati banyak jalan baru atau jalan tikus atau jalan-jalan yang nggak lazim dilalui. Kasus semacam ini akan berakhir dengan komentar, “Ahh, rutenya ngaco niiih…!”  *ada tim yang begini nggak sih? Hayo sini merapat 😀

Aneka cerita saya tersesat sudah terlalu banyak. Seringkali suami saya suka bawel kalau mau pergi buat kasih tahu rute walau saya terlihat sudah menyalakan Gmaps. Detail sekali. Bahkan saat akan safar ke UK beberapa tahun lalu, suami saya bolak-balik sudah kasih bekal buat baca peta naik Tube. Dilatih pakai eflyer Map Tube London. Belajar baca Zona sampai dikasih latihan naik turun stasiun. Pede banget sudah merasa bisa.

Sampai sana bisa? Memang rute saya jadi lebih mudah, tapi tetap ada episode nyasar yang membuat tiket Zona 2 saya nyasar ke Zona 3. Bahkan, saya sudah menambah mengikuti saran teman yang sedang bersekolah di sana untuk unduh Apps Citymapper yang pas dijelaskan, rasanya mudah sekali. Tapi tetap saja ada episode bingung ketemu ketemu perempatan dan ada perintah “go west”, lalu suka ada salah belok yang bikin keadaan runyam.

Karena waktu itu status lagi jadi ‘turis ala-ala’, nyasar di tempat baru yang sudutnya serba indah, seru-seru aja. Tapi kalau lagi buru-buru, baru terasa deh jadinya hidup saya nggak efektif. Lalu demi keamanan, beberapa hari kemudian saya beli tiket semua zona. Keputusan yang mungkin bagi orang lain kurang cerdas, kurang cermat dan kurang hemat, ngga apa-apa yang penting selamat, haha…

Dari semua kisah nyasar, ada sebuah kisah nyasar yang sangat berkesan. Kisah nyasar yang membawa hikmah semangat buat menuntut ilmu. Alkisah, saya janjian untuk bertemu dengan beberapa teman dekat di daerah Kayu Putih, Jakarta Timur. Kala itu, saya berangkat agak kesiangan karena paginya harus takziah dulu. Saya pergi hanya berdua dengan Olea yang duduk dengan manisnya duduk di kursi bayi di belakang (Waktu itu usianya masih 1 tahun). Janjian sekitar jam 9.30. Saya masuk tol jam 8.15. Estimasi saya, sampainya akan mepet waktu atau telat beberapa menit.

Dari Bintaro, saya berencana akan melewati tol TB Simatupang lalu ke Cawang mengikuti arah yang diberikan teman saya, di saat itu saya dikasih rute alternatif lewat tol Tanjung Priuk, tapi karena saya tidak menjadikan itu opsi jadi saya hanya menyimak selintas. Lalu, ketika bertemu dengan jalan bercabang antara arah Jakarta dengan Ciledug, entah apa penyebabnya hingga terjadi kemacetan yang cukup panjang dari biasanya. Saya melaju pelan hingga sampai mendekati mulut jalan yang bercabang, tiba-tiba saja si Gmaps mengarahkan saya mengambil jalan ke kiri untuk melewati tol arah Ciledug, dan saya seketika reflek mengikuti petunjuk itu dan berpikir bisa sampai lebih cepat karena diarahkan ke jalan yang lebih lancar.

Oke, rute seketika berubah dan saya tidak sempat mempelajari rute itu lebih dulu. Tapi, saya masih merasa aman karena cukup mengenal rute arah Cengkareng dan Grogol. Melalui telp, saya diarahkan untuk keluar di tol Cempaka Putih dan diminta untuk mengabari kembali teman saya untuk tahu arahan selanjutnya setelah keluar tol nanti.

Tapi, Qadarullah ada sebuah kekacauan terjadi. Jadi, saya baru menyadari pas sebelum masuk tol, saya lupa untuk isi bensin. Indikator sudah merah. Saya agak merutuk dalam hati atas sifat buruk saya yang mudah teralihkan fokus dan akhirnya suka lupa ini. Sementara suami saya orangnya serba terjaga persiapannya. Memang hidup harus saling melengkapi ya kan, biar ada bahan cerita seru… *ngeles terus kaya Bajaj:D

Melihat perjalanan masih setengah lagi, saya akhirnya memutuskan keluar tol di gerbang tol Ancol Timur untuk cari pom bensin terdekat. Jreng! Asing sekali area itu. Pom bensin ketemu, bensin aman, saya melaju menuju pintu tol lagi. Nah, di sini saya mulai bingung. Pas masuk tol lagi kenapa arah saya ke Tanjung priuk lalu jadi balik lagi ke arah Ancol timur dan Ancol barat? Koq ini saya balik jalan yang sama?

Saya putar balik lagi. Lewati jalan tol yang tadi menuju arah Cempaka Putih. Entah dimana letak salahnya, saya merasa sudah plek ketuplek mengitu arahan GMaps , bahkan saat saya mengetik ini pun sampai tidak mampu mengingat kenapa saya sampai bisa tawaf 3 Lap di jalur tol itu.

Kala itu sudah jam 10.20. Saya melirik Olea tertidur pulas. Aman. Sepanjang jalan, saya tidak merasa sepi dan memang menikmati perjalanan sambil mendengarkan rekaman kajian Tadzkiratus Saami Ustadz Nuzul Dzikri. Jadi saat perjalanan nyasar, saya juga nggak sedih-sedih amat *menghibur diri 😀

Teman-teman saya sudah mulai resah dan meminta saya share loc. Seketika mereka pun panik melihat posisi saya.

“Kenapa posisi lo ada dekat dengan laut?” Hahahaha… Saya cuma bisa nyengir antara mau nangis sama mau menertawakan kedudulan saya, karena saya bahkan nggak mampu menjelaskan posisi saya ada di mana?. Jalanan saat itu tidak memungkinkan saya berhenti, sementara sekeliling saya banyak truk-truk besar. Saya memutuskan tetap berjalan perlahan di lajur kiri. Sebagian meminta saya untuk membatalkan rencana ke sana dan lanjutkan arah balik. Tapi, saya merasa sayang dan keukeuh untuk meneruskan perjalanan biar ada hasilnya dan terhibur bisa ketemu semuanya walau sebentar. Akhirnya teman-teman minta saya tetap nyalakan telpon, lalu dipandu oleh mereka. Jam 11 saya akhirnya berhasil keluar tol Cempaka putih! *lap keringet haha…

Dari sini saya mengandalkan arahan rute yang punya rumah. GMaps tetap saya nyalakan, walau disuruh belok saya tetap lurus mengikuti arahan teman saya. Beberapa teman yang tadinya mau pamit duluan, kayanya kasihan dengan nasib perjalanan saya, jadi akhirnya tetap bersabar menunggu saya datang :’)

Sesungguhnya saya lelah. Kira-kira 15 menit lagi mau sampai, saat berhenti di lampu merah. Di saat itulah, kajian yang entah sudah masuk bab ke berapa, Ustadz sedang membahas kisah jamaahnya yang salah rute.

“Mau ke rumah teman saja harus pakai ilmu. Padahal Cuma 2 belokan, belok kanan dan belok kiri. Itu kan pake ilmu. Masa ke Surga nggak pakai ilmu?”

DHUAR!

Itu seperti tembakan tepat kena sasaran dan tidak melesat sedikitpun. Saya tertawa terbahak-bahak sendiri mendengarnya, persis seperti apa yang sedang saya alami saat itu, hanya beda rute saja. Seketika lelah saya hilang.

Itu perkara nyasar jalannya di dunia, di Jakarta. Muter-muter yang bikin stress. Perasaan sudah benar, perasaan sudah sesuai arahan. Orang lain yang dengar mungkin akan berkomentar, koq bisa sih nyasar? Nggak masuk akal deh, segitu petunjuknya jelas. Jawabannya sederhana. Iya, karena nggak punya ilmu. Goyah banget ya, disuruh belok kanan ya belok, karena nggak tahu, buta arah, dan sombongnya nggak mau persiapan dulu.

Cari jalan di dunia saja harus dengan ilmu, baca peta saja harus dengan ilmu. Tapi saya melaju jalan tanpa ilmu dan dengan sotoynya mengandalkan kemampuan saya yang sangat terbatas. Masih untung sampai tujuan meski lama, kalau nggak sampai? Habis waktu, bahan bakar dan tenaga hilang juga.

Pikiran saya lalu seperti memutar semua ‘film kehidupan’ yang pernah saya lalui. Saya termenung. Selama saya hidup, rasanya sudah terlalu lama perjalanan tujuan hidup yang ‘nyasar’ dan tidak tertuju ke Allah.  Tapi, berkat taufiq dan pertolongan Allah, saya dimudahkan untuk merangkak mendekat pada Allah melalui jembatan ilmu yang masih panjang untuk saya tempuh. Sudah belajar ilmu agama pun, masih banyak salah jalannya.

Apakabar kalau saya nyasar di akhirat nanti? Siapa yang akan menolong saya? Perjalanan dalam mengumpulkan amal dan bekal akhirat pun masih panjang, waktu terbatas, lalu nggak pakai ilmu? Ingin menjadi baik tapi nggak tahu jalannya. Yang ada nanti syok, merasa sudah melakukan amalan dan kebaikan, ternyata salah karena nggak ada tuntunannya. Ada tuntunannya tapi nggak dipelajari. Akhirnya semua yang dikira kebaikan ternyata nggak masuk hitungan karena nggak ada ilmunya. Fatal.

Apakabar kalau saya saat ini masih nyasar-nyasar untuk urusan perjalanan mencari bekal akhirat karena nggak punya peta dan untuk ke surga? Cita-cita surga tapi nggak punya ilmu. Maka meneteslah airmata saya, merinding membayangkan betapa banyak kengerian yang akan saya hadapi nanti jika saya masih malas untuk belajar ilmu agama dan membuat saya harus berputar-putar nyasar sementara orang lain bisa sampai tujuan dengan tepat dan cepat. Bergidik membayangkan akibat nyasar, bisa membuat pupusnya angan-angan untuk bisa ketemu sama orang-orang tersayang. Nggak terbayang hancurnya hati jika sampai gagal berkumpul lagi bersama akibat salah jalur atau tidak berada di satu tujuan. Kecewa di dunia masih bisa diperbaiki, kecewa di akhirat?.

(Petikan kisah ini yang saya dengar kala itu, Alhamdulillah ternyata sekarang sudah ada potongan rekaman disertai visualnya)

Saya sampai di rumah sahabat saya sekitar jam 11.30 WIB. Itu berarti saya nyetir sekitar 3.5 jam yang padahal jalanan lancar. Durasi yang sama mungkin saya sudah sampai Bandung. Disambut dengan rasa bahagia dan iba dari mereka semua yang tampaknya sudah lelah menanti, semua minuman dan makanan langsung disodorkan di hadapan saya hahaa…

Mereka bengong lihat saya masih cengengesan datang, karena dikira saya akan tepar. Sungguh, perjalanan nyasar itu ditutup dengan pelajaran yang sangat manis. Diberikannya telinga saya rezeki untuk mendengar kisah nyasar, tepat di saat saya habis nyasar. Seperti obat yang diberikan saat sakit sedang meradang. Seperti vitamin yang diberikan saat tubuh butuh penambah semangat. Allah sodorkan saya hikmah tentang pentingnya ilmu supaya nggak nyasar, di tengah perjalanan menegakkan istiqomah menuntut ilmu.

Dan di akhir perjalanan itu, Allah pertemukan saya dengan sahabat-sahabat yang berada di jalan yang sama, agar bisa saling menarik saat tengah hilang arah, agar bisa saling melempar do’a agar tali taqwa terjaga…

Terus hubungannya sama foto jus? itu kiriman kemarin, sekardus cold pressed juice dari mereka (yang saya temui setelah 3.5 jam perjalanan itu). Melihat nama-nama mereka, mengingatkan saya untuk menuliskan kisah 2 nyasar tahun lalu, supaya saya tetap bisa mengingat terus ibrahnya =)

Doa Agar Mencintai Dan Dicintai Allah

اَللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ

Ya Allah, aku memohon agar dapat mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai amal yang dapat mendekatkan diriku kepada cinta-Mu.
HR. Tirmidzi

Btw, do’akan saya jadi pinter baca peta yaaaaaa… hihi

17 Rabi’ul Awwal 1443 H/ 24 Oktober 2021


Your email address will not be published. Required fields are marked *

By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

INSTAGRAM
https://www.instagram.com/adenits/